Ku rasa yang Kau rasa

Waktu kecil saya selalu mendambakan hidup seperti seorang putri di negeri dongeng.Berkhayal menjadi seperti mereka -mengenakan gaun elegan khas kerajaan, sepatu kaca, memiliki pelayan-pelayan yang selalu bisa diandalkan dalam memenuhi kebutuhan saya, dan selanjutnya bertemu dengan pangeran tampan yang siap memberikan setangkup kebahagiaan dengan cinta sejatinya.

Lihatlah cinderela. Sekalipun ia harus dibuang dari istana, pada akhirnya ia hidup bahagia dengan seorang pangeran yang mencintainya. Putih salju, Rapunzel,Barbie dan
tokoh-tokoh dongeng lainnya pun mengalami kisah yang serupa. Happy ending.

Pastinya, saya bukan anak-anak lagi yang mempunyai pemikiran sesederhana itu tentang cinta. Meskipun ada yang serupa dengan kisah para putri itu.
Banyak orang -termasuk saya- hampir memiliki tujuan yang sama dengan cinta yang dipilihnya. Kebahagiaan. Lalu, bagaimana jika jalan yang dilewati untuk mendapatkan kebahagiaan itu terlalu panjang dan terjal? Masihkah cinta dipertahankan?

Mungkin sulit jika itu terjadi dalam masa berpacaran. Tak ada janji sakral yang harus diberatkan oleh keduanya seperti dalam pernikahan. Sah saja jika sewaktu-waktu hubungan itu harus diakhiri. Namun masalahnya, jika cinta yang mengikat keduanya atau mungkin salah satunya sudah sangat kuat,sulit pula untuk menerima keputusan putus tersebut.

Kesepakatan untuk berpacaran diambil oleh dua insan yang saling tertarik. Entah apa yang membuat ketertarikan itu timbul, saya sendiri pun tidak bisa memberikan jawaban yang pasti tentang apa yang membuat saya jatuh cinta pada pacar saya dulu itu. Ujug-ujug teko dewe koyo bledek. Nek dada rasane mak sir. (Jawa: Tiba-tiba datang sendiri seperti petir. Terasa bergetar di dada)

Kesempatan yang diambil memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk lebih mengenal satu sama lain. Merealisasikan cinta yang abstrak dengan perhatian, kepedulian dan empati terhadap yang lain. Bersama-sama menikmati indahnya dunia dan berbagi kepahitan masing-masing. Saat yang satu menangis, yang lain datang untuk menenangkan. Menceritakan hal-hal menarik yang tidak dialami oleh pasangannya agar si pasangan juga ikut merasakan seperti yang dialaminya.

Saya rasa, hubungan bisa tetap dipertahankan jika keduanya tetap menjaga komitmen yang disepakati, jika satu dan lainnya bisa menguatkan dalam masa-masa sulit sekalipun badai terus berulang. Karena cinta mampu menciptakan kekuatan besar dari dalam diri kita untuk mengatasi rintangan apapun. Bukankah begitu?

Happy Valentine, everybody!


*gambar asli dipinjam dari sini


Selengkapnya...

Refleksi

Seperti malam-malam biasanya. Dari ruang tengah, terdengar ada satu, dua dan kadang beberapa orang sedang terlibat dalam suatu percakapan. Kadang tenang, kadang riuh. Kadang santai, kadang tegang. Tergantung arah pembicaraan dan respon dari setiap orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut. Bahkan karena sesuatu hal, percakapan biasa bisa berubah menjadi pertengkaran. Adu mulut atau fisik bisa dijadikan pilihan selanjutnya.

Begitulah gambaran sekilas adegan sinetron yang disaksikan kedua eyang saya malam itu. Dan sekali lagi, seperti malam-malam biasanya. Mereka tampak antusias menyaksikan adegan demi adegan dalam rentetan sinetron yang digelar mulai jam 6 sore hingga malam mulai larut nanti. Saya sudah sangat hafal jam berapa kedua eyang saya mulai duduk di ruang tengah. Ya, tentunya untuk menonton sinetron-sinetron itu tadi. Itulah rutinitas yang mereka lakukan setelah selesai beraktivitas. Yang saya pikirkan, kok tidak bosan ya. Padahal alur sinetron ya begitu-begitu saja. Pada akhirnya, mudah sekali untuk menebak adegan apa yang terjadi selanjutnya.

Sangat membosankan bagi saya. Pertama, saya bukan penggandrung sinetron. Kedua, saya tidak bisa mengganti channel televisi sesuai acara yang saya suka. Ketiga, setiap hari saya terpaksa melakukan dan menyaksikan hal yang serupa. Keempat, kelima dan seterusnya. Sebenarnya masih banyak lagi alasan kebosanan saya.

Dan, entah kenapa segunung alasan kebosanan itu menjadi luluh-lantah seiring dengan berubahnya cara pandang saya terhadap semua yang telah terjadi. Entah apa yang menyadarkan saya.


Hari ini saya membawa pikiran saya ke masa lalu. Saat saya mulai merajut impian besar untuk bekerja di Malang, menikah di Malang, bermukim di Malang pula setelah saya tuntaskan kuliah saya di kota itu. Mungkin segudang kata-kata pemujaan tak akan pernah habis keluar dari mulut saya jika menyangkut Malang. Kadung tresno. Itulah alasannya.

Tresno dengan semuanya. Kos yang saya huni, tempat-tempat umum, makanan, jalanan, teman-teman, dan pria-pria yang saya pacari (ralat: pria karena sisa satu saja). Melanjutkan studi di sana adalah anugerah terindah dalam hidup saya. Sampai saat ini pun, bibir ini akan tetap mengembang jika mengingat hidup saya di kota itu.

Karena hal itu dan karena sifat saya yang pantang menyerah *lebay ya* akhirnya memacu semangat saya untuk mendapatkan pekerjaan di Malang. Belasan perusahaan di Malang telah saya lamar. Banyak yang tidak direspon. Ada yang mendapatkan tanggapan. Dan saya diberi kesempatan untuk mengikuti prosedur selanjutnya seperti wawancara dan psikotest. Pengalaman pertama yang cukup sulit. Ujung-ujungnya, saya gagal.

Keinginan saya untuk mendapatkan pekerjaan secepatnya membuat saya mengabaikan impian utama saya: harus bekerja di Malang.Kesempatan rupanya cenderung terbuka lebar di Blitar. Dan saya tidak mau melewatkannya daripada menyesal. Akhirnya, saya pun mencoba dan berhasil. Kebetulan, tempat saya bekerja sangat dekat dengan rumah eyang. Tak bisa dipercaya, saya kembali.

Ijinkan saya untuk sedikit menceritakan asal-usul saya. Sejak SD sampai SMA, saya tinggal bersama kedua eyang saya. Tunggu, jangan berpikir macam-macam tetang orang tua saya. Mereka baik-baik saja. Sudah ada adik yang menemani mereka. Dan tugas saya yang menemani eyang. Rumah orang tua saya dan eyang tidak begitu jauh juga kok. *Lo, kok jadi buka banyak rahasia*.

Ok, back to my first job. Meskipun pada minggu-minggu pertama terasa begitu berat (dari setiap sisi), ternyata saya betah bekerja di sini. Pekerjaan yang terlihat sederhana namun cukup untuk mencuri waktu tidur saya selama berbulan-bulan. Memang benar, praktek langsung selalu lebih sulit dari sekedar teori dan mengamati. Sungguh, dari setumpuk pekerjaan kecil inilah saya mendapatkan banyak pelajaran berharga.

Setahun berlalu dengan pekerjaan itu dan serabutan di sana-sini. Lalu, tanpa sengaja terbukalah kesempatan untuk kembali meraih mimpi saya -bekerja di Malang- dari sebuah situs. Pekerjaan ini jauh lebih menggiurkan dari apa yang sekedar saya harapkan sebelumnya. Sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, gaji lumayan,dan yang terpenting di mana saya harus bekerja -kampus. Iming-iming menggiurkan itu telah mendongkrak segenap tenaga yang ada di dalam diri saya untuk membuatnya menjadi nyata. Saya masih ingat bagaimana melewatkan setiap malam dengan segudang kata-kata sejarah nasional dan ilmu tata negara di dalam kepala saya dengan mata terpejam. Saya sadar kalau saya teramat payah perkara hafal-menghafal. Karena itu saya rela untuk mengorbankan kedua mata saya untuk menguasai materi perhafalan itu tadi.

Untungnya, usaha keras saya membuahkan hasil. Saya lulus tes tahap pertama dengan materi pengetahuan umum, penalaran dan materi kenegaraan yang saya hafalkan setiap malam itu.*kok diulang-ulang ya? Ah, anggap saja saya terlalu senang atas ke-bisa-an ini* Saya pun menyiapkan diri untuk tes selanjutnya, ujian praktek dan wawancara. Untuk kali ini, saya rasa ujian praktek lah yang membuat saya pesimis untuk lulus. Meskipun saya tetap berharap pada keajaiban, saya tidak boleh membuang kesempatan yang lain. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Sembari menanti pengumuman kelulusan tahap akhir, saya ikuti pula tes CPNS di Blitar. Pengumuman kelulusan di Malang dan di Blitar hanya berselang satu hari. Kali ini, saya tak punya firasat apa pun. *Firasat. Maaf kalau para pria sulit menerima kata ini, tapi inilah yang seringkali para wanita banggakan kalau pada akhirnya memunculkan realita* Saya hanya meminta pada-Nya memberikan yang terbaik bagi saya karena saya sendiri kadangkala suka menyesali keputusan yang saya buat padahal keputusan itu dari keinginan sendiri lo. Dan memang, negosiasi saya dengan-Nya berlangsung dengan mulus. Saya meminta untuk lulus di salah satu tempat saja, bukannya dua atau tidak lulus sama sekali dan Dia mengabulkannya. Saya lulus di Blitar. Benar kan? Saya tidak berhasil di dua tempat dan tidak perlu bingung memilih mana yang terbaik bagi diri saya. Dia sudah memilihkannya untuk saya dan itu pasti yang terbaik.

Kalaupun sekarang saya harus rela untuk bersama eyang menyaksikan sinetron setiap malam, mungkin itu untuk membuat saya terbiasa dengan kemonotonan. Kalaupun sekarang saya tidak dekat dengan sahabat-sahabat saya, itu akan membuat saya semakin handal untuk membuat keputusan sendiri. Kalaupun saat ini saya harus rela jarang bertemu dengan sang pacar, itu akan membuat kami semakin menyadari arti sebuah kepercayaan.

Sekarang, keinginan untuk tinggal di Malang bukan sesuatu yang penting. Saya yakin, Tuhan selalu punya maksud besar dengan keberadaan kita, di mana pun kita tinggal dan dengan siapa saja kita bertemu. Memaknai kehendak-Nya di dalam keputusan yang kita ambil memang tidaklah mudah. Tapi berkeluh kesah dengan sebuah keadaan yang tidak kita inginkan bukanlah jalan yang tepat untuk mengubah hidup kita menjadi lebih baik.

Selengkapnya...

I hope you're my destiny




For a moment, I'll  trying to remember how you came into my life four years ago
The day I met you was the day my life began
By simple ways that doesn't realize has made my love deeper and deeper
Thanks for holding my hand
It makes me stronger
Thanks for your arm
It makes me comfortable and safe 
Thanks for sharing with me
It makes me feel trusted
Thanks for everything

I love you


-Happy Anniversary Dear-
Selengkapnya...